Partisipasi Pemilih Muda dalam Pemilu 2024

 

Partisipasi Pemilih Muda dalam Pemilu 2024


Pemilihan umum (Pemilu) merupakan suatu instrumen pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara jujur, umum, langsung, bebas, rahasia, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, di mana pemilihan umum tersebut dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Penyelenggaraan dari pemilihan umum ini bertujuan untuk melakukan pemilihan wakil rakyat dan wakil daerah, dan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan didukung masyarakat agar dapat mewujudkan tujuan nasional yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Dasar 1945. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa Indonesia menganut faham demokrasi konstitusional. Dalam demokrasi konstitusional ini, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan dengan berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945. Agar dapat mencapai perwujudan kedaulatan rakyat tersebut, maka cara paling tepat adalah dengan melaksanakan pemilihan umum secara langsung oleh masyarakat (Zalukhu, 2014).

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat. Hal tersebut telah dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan dengan berlandaskan pada Undang-Undang Dasar. Alvons (2018) menjelaskan bahwa kedaulatan yang berada di tangan rakyat tersebut ditunjukkan dengan adanya pelaksanaan pemilihan umum pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Pemilihan umum merupakan salah satu hak asasi yang paling mendasar dan esensial bagi seluruh warga negara. Dengan demikian, agar dapat melaksanakan hak-hak asai tersebut, maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Pemilihan umum di Indonesia sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, di mana terdapat pasal yang secara khusus mengatur tentang pemilihan umum, yaitu dalam bab VIIB Pasal 22E tentang Pemilihan Umum. Dengan berlandaskan pada dasar bahwa rakyat yang berdaulat, maka rakyat memegang peran penting dalam melakukan penentuan. Jika pemerintah tidak menyelenggarakan pemilihan umum atau memperlambat proses pemilihan umum tanpa persetujuan dari wakil rakyat, maka pemerintah dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi rakyat (Alvons, 2018).

Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang Ideal

 Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang Ideal



A.    Latar Belakang

Polri merupakan institusi yang bertanggung jawab di dalam mengupayakan, mencegah, dan mengelimininasi dari setiap gejala yang mungkin muncul dan dapat mengganggu keamanan dan ketertiban di masyarakat. Polri tentunya memiliki tugas yang cukup berat dalam pencegahan terjadinya pelanggaran, kejahatan, pelayanan masyarakat, dan melindungi serta menertibkan masyarakat. Tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Terlebih lagi terhadap wilayah-wilayah yang memiliki potensi tingkat kejahatan tinggi seperti wilayah perkotaan atau tingkat kabupaten (Ramadhan N, 2018).

Salah satu langkah Polri dalam memberikan suasana Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) pada masyarakat adalah memberlakukan program Pemolisian Masyarakat (Polmas). Pada studi empiris Cheurprakobit (dalam Ramadhan N, 2018) mengemukakan bahwa Polmas adalah suatu kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan antara anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan keamanan di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya. Polmas merupakan suatu definisi baru untuk aktivitas polisi agar lebih berbeda dari definisi lamanya yang terkesan militeris dan kaku, atau dengan kata lain polmas adalah bentuk pembaharuan aktifitas dan strategi dalam perpolisian (Cheurprakobit dalam Ramadhan N, 2018).

..............

 Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang peran Bhabinkamtibmas yang ideal dalam kepolisian di Indonesia.

Manajemen Sekuriti Tugas Individu 1

 

Manajemen Sekuriti Tugas Individu 1



1.      Jelaskan faktor pencegahan (prevention) menurut Freeman (1992) dan berikan contoh kekiniannya berdasarkan pengalaman masing-masing.

Untuk memahami konsep dari pencegahan kejahatan, tidak boleh terjebak pada makna kejahatannya, melainkan pada kata pencegahan. Freeman (1992) mencoba mengupas konsep dari pencegahan (prevention) dengan memecah katanya menjadi dua bagian, yaitu prediksi (prediction) dan intervensi (intervention). Hal ini dapat dikatakan bahwa untuk mencegah terjadinya sesuatu tindak kejahatan, yang pertama sekali harus dilakukan adalah memprediksi kemungkinan dari tempat dan waktu terjadinya, dan kemudian menerapkan intervensi yang tepat pada titik perkiraannya (Wahyurudhanto, 2018). Dalam Pasaribu et al. (2020), Freeman (1992) mendefinisikan pencegahan kejahatan sebagai kegiatan yang terdiri dari prediksi dan intervensi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Menurut Freeman, untuk mencegah terjadinya kejahatan, hal pertama yang harus dilakukan ialah memprediksi dimana peristiwa tersebut mungkin terjadi. Kemudian langkah keduanya ialah dengan menerapkan intervensi yang sesuai pada titik perkiraan tersebut (Pasaribu, Mulyadi, & Wulan, 2020).

..........

2.      Jelaskan konsep/teori pencegahan kejahatan berbasis model kesehatan masyarakat dan berikan contohnya.

Terdapat berbagai cara untuk mengkategorikan upaya pencegahan kejahatan, salah satunya adalah dengan mengadopsi pendekatan kesehatan masyarakat. Model kesehatan masyarakat berfokus pada pencegahan kesehatan yang buruk. Hasil kesehatan yang positif telah dikaitkan dengan penerapan strategi untuk mendorong gaya hidup sehat, dibandingkan menunggu penyakit dan pemberian pengobatan selanjutnya. Logika ini telah diterapkan pada pengaturan kebijakan sosial lainnya. Potensi manfaat ekonomi dari menginvestasikan dana sejak dini untuk menghemat biaya di kemudian hari, sangat menarik bagi para pembuat kebijakan, termasuk di bidang pencegahan kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime, n.d.).

..........

Perkembangan Ilmu Kepolisian dalam Menghadapi Kejahatan di Era Digital

 Perkembangan Ilmu Kepolisian dalam Menghadapi Kejahatan di Era Digital


A.    Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di era digital berdampak pada individu yang kini tidak lepas dari ketergantungan terhadap teknologi. Perangkat dan teknologi dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku individu. Perangkat teknologi yang digunakan oleh individu tersebut dapat mengubah pengalaman dan persepsi manusia terhadap dunia dan kehidupan. Keberadaan alat teknologi tersebut juga membantu memudahkan manusia dalam melakukan kegiatannya, termasuk membantu instansi pemerintah seperti Polri dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik dalam tugas penegakan hukum maupun tugas pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Akan tetapi, selain membantu lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, perkembangan teknologi juga memberikan dampak pada timbulnya kejahatan baru dalam dunia digital itu sendiri, diantaranya kejahatan manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, hacking, pencurian software, penipuan online dan berbagai macamnya (Suseno, 2016; Pasaribu, 2017).

Pemerintah pun dinilai masih belum memiliki kemampuan yang cukup dalam menghadapi dan mengatasi permasalhaan kejahatan melalui internet tersebut, sehingga pengendalian kejahatan di era digital ini dinilai masih. Kemunculan sejumlah kasus kejahatan siber di Indonesia dinilai menjadi ancaman stabilitas keamanan dan ketertiban nasional dengan pertumbuhan yang dinilai cukup tinggi. Perangkat intitusi pemerintah dinilai belum mampu mengimbangi kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer dalam jaringan internet (internetwork). Tindakan kejahatan siber tidak mudah diatasi hanya dengan menggunakan hukum positif konvensional, karena terkait dengan tindak kejahatan, tidak dapat lepas dari lima faktor yang saling berhubungan, yaitu pelaku kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan dan hukum. Hukum merupakan instrumen penting dalam mencegah dan menanggulangi tindak kejahatan, tetapi untuk membuat ketentuan hukum pada bidang hukum yang dapat berubah dengan cepat seperti teknologi informasi, bukan hal yang mudah (Pasaribu, 2017).

.......

Diskriminasi dan Kekerasan Karena Konstruksi Identitas

 Diskriminasi dan Kekerasan Karena Konstruksi Identitas

Identitas merupakan ciri khas yang terdapat dalam diri individu. Identitas ini ada yang bersifat alami dan ada yang dikonstruksi. Identitas yang dikonstruksi sering dikaitkan dengan atribut atau label yang disematkan kepada seseorang yang sesungguhnya sudah memiliki identitas alami. Contohnya identitas gender yang hadir secara alami pada diri seseorang bisa bersamaan dengan identitas lainnya yang tidak bisa ditolak kehadirannya, karena sejak lahir telah disandangnya, seperti identitas yang berkaitan dengan agama, suku, ras, maupun kebangsaan. Selain identitas yang bersifat kodrati, ada juga identitas akibat dari usaha seseorang yang bersifat nonkodrati, tidak tetap dan dapat berubah, seperti identitas yang diperoleh dari pendidikan, status sosial, dan tindakan berulang yang dilakukan. Identitas yang diperoleh akibat dari tindakan berulang yang dilakukan dapat disebut sebagai julukan atau label yang diberikan kelompok atau masyarakat kepada individu tertentu. Lingkungan berpengaruh kuat terhadap identitas individu, karena melalui interaksi dengan lingkungan, orang senantiasa dapat mengkonstruksi dan dikonstruksi identitasnya. Dalam kenyataan sehari-hari identitas dapat berupa pengakuan subjektif yang diberikan kelompok kepada pihak lain di luar kelompoknya atau dapat juga merupakan pernyataan orang dalam yang disematkan kepada kelompoknya sendiri, terkadang menimbulkan diskriminasi antara kelompok dominan terhadap kelompok minoritas (Mutmainnah, Latjuba, & Hasbullah, 2022).

Sikap dan pandangan diskriminatif yang muncul dapat dilihat sebagai dorongan dan kebutuhan yang tidak dapat dimunculkan secara terbuka dalam interaksi sosial sehari-hari di tengah masyarakat karena bertentangan dengan standar moral, norma, kaidah dan nilai yang diidealkan secara sosial. Sikap dan pandangan diskriminatif semacam inilah yang sedianya akan disasar dengan KUHP anti diksriminasi. Persoalannya, sikap dan pandangan diskriminatif semacam ini seringkali sangat sulit untuk dibuktikan secara legal formal karena sikap dan pandangan semacam ini lebih banyak muncul dalam ruang-ruang percakapan dan interaksi sehari-hari. Disinilah terletak tantangan persoalan yaitu di satu sisi ada individu yang merasa dilanggar hak asasinya akibat sikap dan perlakuan diskriminatif berdasar identitas sosial budayanya, namun di sisi lain sangat sulit untuk membuktikan dasar-dasar sikap dan perlakuan diskriminatif tersebut secara legal formal (Madyaningrum, 2010).